Pandeka Regok dan Imajinasi Antagonis Kita

Oleh Deddy Arsya

tewasnya si patai

Sejarah tak mencatat tentang Pandeka Regok, tapi lagu, membuatnya dikenal. Entah siapa dia. Bisa jadi, itu hanya tokoh khayali, bukan benar-benar tokoh sejarah. Dia ada di bibir kutilang Minang, Elly Kasim, yang menyanyikannya tahun 1970an. Pandeka Regok, kata Elly, “Juara di gelanggang rampok”.

Tapi, sekalipun begitu, Pandeka Regok berakhir menyedihkan. Tapi Elly menyanyikannya dengan irama riang:

Pandeka Regok ditangkap opas dan polisi

Dipasangkan belenggu dan gelang besi

Dia dihukum buang dilempar jauh dari negeri

Pandeka Regok lapuk dalam penjara/tansi

Ada banyak tokoh serupa dalam imajinasi kita. Kepada dialah umpatan terpendam kita kadang-kadang kita tumpahkan; untuk melapangkan perasaan tertekan kita akan bahaya kejahatan yang senantiasa mengancam. Toh, kehidupan selalu butuh kambing hitam; setiap dekadensi selalu butuh yang dipersalahkan. Seorang maling yang tertangkap sudah pasti babak-belur dihajar massa, tidak jarang sampai tak bernyawa. Kita, si massa, telah melampiaskan ketakukan kita sendiri pada ancaman kejahatan yang diperbuat oleh penjahat lain entah di mana, bukan si malang yang tertangkap itu; tetapi toh pada saat itu seorang maling yang tertangkap telah mewakili sebuah ‘hantu kejahatan’ yang selama ini mengganggu tidur kita.

***

gambar 8

Ada penjahat lain, dalam cerita khayali juga, dalam kaba (cerita klasik) Minangkabau, Siti Baheram. Syamsudin Dt. Rajo Endah menuliskannya pada tahun 1930an. Setiap kaba—kabar dalam bahasa Indonesia—berasal dari kisah nyata, tetapi tentu si tukang kaba (si penyampai kabar), sebagaimana kredo yang umum dikenal, tidak bertanggungjawab jika yang dikabarnya adalah ‘dusta’.

Tokoh dalam kabar itu bernama: Juki.

Juki hadir menghunus pisau panjang berkilat-kilat, pada pinggangnya terselempang kain, dan pada kepalanya ada deta. Dia parewa, jelas. Berjudi, madat, merampok, kadang membunuh. Dia pelaku beberapa ‘rampok-rampeh’ dalam bahasa hukum Minangkabau. Kadang-kadang dia juga dimanfaatkan opas-polisi dalam persaingan politik, kadang-kadang dia lepas tidak bisa dikendalikan tangan kekuasaan mana pun. Dia bukan orang macam Robinhood memang—social bandits dalam kategori Eric Hobsbwams. Dia semata criminal bandits.

Tidak ada sisi heroik pada sosok Juki, segalanya semata menjijikkan dalam perspektif kaum moralis.

Tapi, tampak di situ, tukang kabar mengabaikan narasi lain tentang Juki. Tukang kabar telah mengabaikan bagian ‘kenapa orang serupa itu bisa lahir?’. Kita bisa saja mengatakan: zaman, oh, zamanlah yang telah melahirkan Juki. Zaman di mana setengah datuk-datuk berkomplot me-mark up ‘wang’ pajak, iuran suku dan sebagainya, sementara setengahnya yang lain asyik menggadaikan apa yang menjadi hak kemenakannya, dan para penghulu sibuk mengejar kekuasaan sebagai Penghulu Kepala yang bakal dapat bintang sebesar tinju jika berhasil membuat pemerintah kolonial senang. Korupsi mewabah, kesewanang-wenangan penguasa menjadi-jadi, keguncangan moral dirayakan. Dalam kondisi itu, kelahiran orang-orang seperti Juki adalah konsekuensi logisnya. Tidakkah seseorang adalah anak dari zamannya?

Zaman yang dinarasikan kabar ini memang suatu zaman yang galau-gebalau. Pelabuhan Teluk Bayur dibuka di selatan Padang. Jalur kereta api menjalar bagai ular ke pelosok-pelosok negeri. Jalan-jalan raya diperlebar. Kota-kota bermekaran. Ekonomi uang atau moneterisasi mengalihkan sistem kepemilikan komunal. Elite-elite kekuasaan terdegradasi dalam arus itu—dan semata menjadi perpanjangan tangan penjajah. Dan akibatnya, dalam laporan tahunan pemerintah kolonial, kejahatan tumbuh pesat pada periode ini. Pada 1916, enam orang perampok digantung di Padang. Angka-angka dari dinas reserse Belanda terus menunjukkan peningkatan jumlah kejahatan di tahun-tahun kemudian. Di Betawi lebih banyak lagi, ada 12 orang digantung oleh algojo yang sama. Inilah masa di mana penjahat-kakapan tumbuh mekar: Si Rancak, Si Patai, Si Baruak, dan lain sebagainya. Dan dalam kaba, sebagai sebuah konstruks imajinasi, penjahat itu bernama Juki.

Juki membunuh Siti Baheram secara tidak sengaja dalam sebuah perampokan yang gagal. Dia ditangkap opas polisi tidak lama kemudian, lalu berakhir dengan: Terjuntai di tiang gantungan.

Penganut historisism akan sepakat bahwa Juki memang tidak sepatutnya dikutuk secara massif. Masyarakatlah yang melahirkan orang-orang sepertinya—masyarakat yang sakit. Seperti seorang penyair Baalbek Lebanon awal abad ke-20 pernah bilang: “Sebagian mengutuk Nero, tetapi aku mengutuk bangsa …  Setiap bangsa menciptakan Nero-nya sendiri pula.” Tapi Juki tentu saja bukan Nero. Tapi siapa pula yang berani mengutuk masyarakat, yang dengan kata lain, mengutuk dirinya sendiri?

***

img_1287

Pada satu dasawarsa akhir abad ke-19 itu, koran-koran Belanda memang ramai memberitakan para penjahat. Mulai dari peristiwa penangkapan, modus operandi kejahatan, bahkan laporan semi-biografi mereka dipampang dalam  beberapa kolom. Di Padang, misalnya, De Sumatra Bode melaporkan digantungnya 6 orang penjahat yang dipertontonkan kepada warga kota. Sementara di Jawa, De Java Courant memuat berita tentang digantungnya belasan penjahat di Depok yang eksekusinya juga dipamerkan di muka umum. Mereka terdiri dari para pembunuh, perampok, dan maling.

Kebijakan keras pemerintah kolonial itu terus berlanjut. Pada kwatrin pertama abad ke-20, ketika depresi ekonomi melanda sekujur Hindia Belanda, nama-nama penjahat kembali ramai mengisi halaman koran-koran. De Sumatra Bode bahkan sudah seperti koran kriminal karena didominasi berita tentang para penjahat. Sumatra Post, yang terbit di Medan, juga banyak memberitakan tentang penjahat dan operandi kejahatannya. Para penjahat yang tertangkap, menurut beberapa pemberitaan itu, dipamerkan kepada kalayak. Mereka yang telah mati karena ditembak, mayatnya diarak bagai karnaval, agar seluruh penduduk kota dapat menyaksikannya—dan takut!

Yang menjual ketakutan adalah yang memperdagangkan keamanan, begitu kata Mathias Brocker.  Itulah yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda di masa lalu. Tetapi, apakah pemerintah sekarang—lewat berbagai otoritasnya—tidak melakukannya juga?

Wajah-wajah kaum kriminal beserta reportase lengkap kejahatan mereka terpampang di laman-laman surat kabar dan layar-layar kaca saban hari. Dari tingkat teri sampai kakap—untuk yang terakhir, kita menyebutnya kelompok kriminal bersenjata. Dan kita, si pembaca, si penonton, menjadi tergidik, takut, dan ngeri. Dan was-was. Tapi, kadang-kadang orang-orang lupa bertanya: mengapa penjahat lahir?

Untuk kasus di Minangkabau, dalam buku Dobbin maupun Radjab, juga dalam Schrieke, para penyamun banyak lahir karena kaum  penghulu tidak mampu menangani merebaknya kejahatan atau tindakan-tindakan kriminal. Kelompok-kelompok penyamun dapat leluasa ada untuk mengacaukan rute-rute dagang dan merampok karavan-karavan. Para datuk-datuk, kaum penghulu, sebagai pemegang otoritas kekuasaan, alih-alih mengendalikan kekacauan, justru terlibat sebagai pemain langsung yang melindungi kelompok-kelompok itu dan menangguk untung.

Di saat seperti itulah otoritas baru muncul dan mendapat tempat: Padri.

Tapi kehadiran Padri, bukan bagian dari penyelesaian masalah yang bertahan lama. Gerakan-gerakannya kemudian justru menjadi bagian dari masalah baru yang akan membakar sekujur Minangkabau berpuluh-puluh tahun.

Bukittinggi, 2018

(Padang Ekspres, 23 Desember 2018)

2 thoughts on “Pandeka Regok dan Imajinasi Antagonis Kita”

  1. Tulisannya keren pak 🙏🙏 perihal social bandit bagaimana menurut bapak, apakah ia dikategorikan penjahat juga? Kemudian apa yg membuat para penjahat pada masa itu sangat berani menentang penguasa?
    Terimakasih pak 🙏

Leave a comment