Tanggapan untuk HJP

Apa hubungan antara a) kemampuan baca-tulis Quran dengan b) kemunduran/kematian intelektual? Kaum elite Minangkabau modern, di mana intelektual Minangkabau kebanyakan berasal, mungkin lebih setengahnya lahir dari rahim pendidikan Barat. Hatta bukan jebolan pendidikan Islam. Keluarga Hatta adalah bukan keluarga Minangkabau dalam citra ideal sebuah keluarga matrilineal (lihat Memoir-nya). Hatta belajar membaca Quran (bahkan bukan menulis) memang. Tapi Sjahrir, Yamin, Aidit, dst. apakah bisa baca-tulis Quran? Mungkin saja bisa. Sebagian intelektual lagi, memang jebolan pendidikan Islam, seperti surau-pesantren-madrasah, dan terutama pendidikan Islam di luar negeri seperti di Mesir dan Arabia. Mereka jelas sangat melek Quran, bahkan tidak jarang adalah penafsir.

Tapi maksud saya, persoalannya bukan di situ, sesat pikir jika menghubungkan tidak pandai baca-tulis Quran dengan kematian intelektual. Itu dua hal yang berbeda. Kematian/kemunduran gerakan intelektual lebih kompleks untuk dikaji dari sekadar angka-angka statistik buta Quran. Bisa juga dihubung-hubungkan, tetapi itu upaya cocoklogi belaka untuk melegitimimasi suatu argumentasi, tapi tidak akan mengena dasar persoalan.

***

Kultus surau, menganggap surau adalah prototipe yang ideal. Sehingga untuk dapat menggapai kejayaan, idealisasi itu harus dibangkitkan. Tetapi, idealitas ini acap tak berdasar pada kenyataan sejarah, sehingga lebih cenderung menjadi kultus yang mitologis. Memang betul, surau melahirkan banyak intelektual Minangkabau pada suatu kurun, terutama intelektual dari kalangan Islam. Tapi surau yang dimaksud adalah dalam pengertian sebagai sebuah perguruan Islam, bukan lembaga intranagari apalagi intrakaum dalam pengertian adigium ‘surau dan lapau’.

Surau yang dimaksud adalah lembaga pendidikan supranagari berupa perguruan atau ‘sekolah’ tradisional—lebih mirip mandala zaman Hindu atau biara Buddha—yang kemudian bertransformasi menjadi madrasah dan pesantren pada awal abad ke-20. Misal, Surau Jembatan Besi yang direformasi menjadi Perguruan Sumatra Thawalib; Surau Inyiak Canduang diperbaharui menjadi Madrasah Tarbiyah; keduanya kemudian membentuk jejaringnya, menjalar ke seluruh Minangkabau hingga kini. Contoh yang lebih tua, Surau Syekh Burhanuddin di Ulakan, sebuah perguruan Islam yang besar, yang menerima murid dari berbagai daerah. Perguruan inilah yang melahirkan banyak murid (yang kemudian jadi intelektual Muslim) terkenal di masanya. Jejaringnya juga menjalar hingga ke sekujur alam Minangkabau, jejaring itulah pula yang kemudian melahirkan jejaring lain lagi di masa yang berbeda, hingga ke masa Paderi abad ke-19 (termasuk Perguruan Tuanku nan Tua dan Perguruan Tuanku Pamansiangan) dan juga ke masa pembaharuan Islam abad ke-20 yang telah disebutkan di atas—di masa yang terakhir, surau-surau itu telah dimodernisasi secara merata, bahkan surau-surau milik kaum tradisional sekalipun.

Jadi, surau yang mana yang hendak direvitalisasi? Pesantren-pesantren yang banyak sekarang, madrasah-madrasah, sekolah-sekolah Islam, hingga perguruan-perguruan tinggi Islam, itulah hasil transformasi dari surau itu kini.

***

Pandangan yang determinan bisa mereduksi persoalan yang sesungguhnya kompleks, menonjolkan suatu sebab dengan pengabaian pada sebab yang lain; memutus aspek kausalitas berhenti pada satu kondisi. Pikiran-pikiran seperti ini juga berpotensi mengabaikan ‘keberlanjutan sejarah’. Suatu keadaan berhenti pada suatu momen, padahal momen yang dimaksud juga bentukan momen sebelumnya. Termasuk menganggap gerakan intelektual berhenti karena Orde Baru adalah salah satu contohnya. Perubahan nagari menjadi desa, dalam beberapa sisi, mengubah struktur masyarakat Minangkabau. Tapi, sebagai sesuatu yang determinan, tentu saja tidak. Seolah-olah struktur itu baik-baik saja sebelumnya—termasuk pada aspek intelektualitas—hingga kemudian Orde Baru datang mengacaukannya? Itu a-historis. Apakah ini pembelaan kepada Orde Baru? Orang yang lapang akal tentu tidak akan berkata begitu. Campur tangan negara atas puak Minangkabau ini setidak-tidaknya telah dimulai sejak Paderi. Lalu bagaimana kemudian pengaruh itu semakin mengental dalam masa-masa setelahnya, termasuk oleh Rezim Soekarno (terutama dalam masa Demokrasi Terpimpin yang gelap) dan juga Soeharto … berbagai pengaruh dan sebab berkelindan dengan kompleks atas suatu keadaan.

***

Tentang kemunduran/kematian gerakan intelektual di Minangkabau, ini polemik yang cukup kuno juga. Dan kita memang suka mengulang-ulang. Bisa jadi artikel tersebut ditulis untuk ‘mengambuang-ambuang’ seseorang, jadi saya mahfum saja. Kebenaran ilmu suka ‘terjerambab’ jika digunakan untuk pembenaran politik. Saya tidak sedang terlibat sorak-sorai politik sekarang. Saya tidak ada urusan dengan itu–terlarang bagi saya oleh Undang-undang. Itu sebabnya saya hanya mengomentari bagian-bagian yang ada hubungannya dengan keilmuwan saya (ranah historis) saja–dan tidak mencampuri urusan-urusan di luar itu. Agar tidak menjadi kebenaran tunggal belaka.

 

 

Leave a comment