Penyitaan Buku dan Hantu Komunisme

meanwhile-in-russia-9

Oleh Deddy Arsya

Pada Selasa sore, 8 Januari 2019, tim gabungan dari tentara, polisi, dan kejaksaan mendatangi sebuah toko buku di selatan Padang, dan menyita beberapa eksemplar buku dalam 3 judul, “yang disinyalir mengandung ajaran komunis,” kata sebuah pemberitaan. Dua hari setelahnya, salah satu koran terbesar di daerah itu, membuat Tajuk Rencana yang mengherankan berjudul “Buku Ajaran Komunis”. Mengherankan karena  sebuah surat kabar yang diharapkan sebagai penjaga rasionalisme wacana percaya kepada bangkitnya ‘hantu komunisme’ dan berusaha ‘menakut-nakuti masyarakat’ dengan hantu itu. Percaya bahwa komunisme telah bangkit dan memulai propaganda-propagandanya kembali lewat, di antaranya, buku.

“Kini ajaran itu (komunisme) muncul kembali,” kata surat kabar itu dengan yakin.

Ajaran itu, akan mengkontaminasi para pelajar lulusan SMA atau mahasiswa-mahasiswa tahun pertama, “merusak pemikiran generasi muda”, dan buku disebut-sebut adalah biangnya. Saya kutipkan: “… komunisme mudah masuk ke pemikiran-pemikiran mereka karena adanya doktrin dari buku bacaan tersebut.”

Di akhir tulisan, si penulis tajuk menyeru:

“… pihak Marxisme memang pandai mengemas doktrin-doktrin mereka dalam format intelektual yang menarik. Terkait hal itu, kita harapkan masyarakat mulai melek untuk melihat kenyataan bahwa ajaran komunis telah kembali marak….”

Mengherankan karena buku-buku yang disita itu masih ‘diduga’ atau ‘disinyalir’ berisi ajaran-ajaran komunis. Pihak tentara yang menyita juga masih baru akan memeriksa konten buku yang mereka sita. Sementara si penulis tajuk, yang harusnya sadar data karena tentu adalah seorang wartawan dari koran tersebut, telah nyaris sepenuhnya yakin bahwa buku-buku yang disita itu dapat merusak alam berpikir pembacanya.

Komunisme sendiri, yang ditakutkan akan bangkit lagi, toh sudah lama terjerembab ke dalam kubang kehancuran di mana-mana. “Komunisme itu sudah diarak ke museum sejarah,” kata Syafii Maarif. “Komunisme sudah tinggal sejarah,” kata Huntington. Soviet telah lama runtuh. Dan Cina telah menjadi salah satu negara kapitalis terbesar dunia tak ubahnya seperti Amerika. Korea Utara ngos-ngosan meniti jembatan zaman yang semakin terbuka. Ideologi itu telah terbukti gagal sebagai penyelamat sosial. Apalagi yang mesti ditakutkan dari komunisme?

JAKARTA-ANTICOMMUNISTISCHE-DEMONSTRATIE

Tulisan ini tidak akan berpanjang-panjang soal kebangkitan hantu komunis. Tulisan ini sendiri bermaksud merespon penyitaan buku yang marak belakangan ini. Pertanyaan utamanya, masih efektifkah penyitaan—atau pemberangusan—buku-buku di dunia kita kini?

Respon-respon umum tentu bisa diberikan: Penyitaan buku secara serampangan tidak lebih dari pembumihangusan upaya-upaya gerakan literasi yang selama ini dengan susah-payah telah dibangun. Apakah indikator sebuah buku dianggap menyebarkan ide-ide komunis sehingga dapat dilarang peredarannya? Buku-buku yang disita pun bukan buku-buku komunis seperti yang dinyatakan tentara. Bahkan, buku-buku yang sebetulnya bermuatan antikomunis tapi mengandung judul kata “komunis” ikut disita. Tidakkah ini tanda ketidak-melekan literasi di tataran petugas negara? Lantas, jika diteruskan, akan muncul pertanyaan: Apa regulasi yang mendasari tentara dan kejaksaan dapat berkuasa atas wacana tertentu sehingga dapat mengklaim suatu bacaan sebagai terlarang hingga harus disita? Orang-orang akan dan telah sering juga memprotes: Telah terjadi pemberangusan atas kebebasan berpikir, perkembangan intelektual, kesadaran berwacana & menurunkan tingkat literasi … itu pembodohan, dst.

Bisa jadi memang begitu. Tapi tampaknya, respon-respon seperti itu telah umum belaka setiap ada kejadian penyitaan buku—kadang-kadang terasa berlebihan juga. Dan tentara dan kejaksaan toh tetap saja menyita buku yang dianggap ‘haram’ menurut penilaiannya.

Lalu apa kita perlu cemas? Orang-orang yang berpikir bisa menghampang laju informasi di zaman ini sesungguhnya sedang mengalami kekeliruan berpikir. Setidak-tidaknya dua dasawarsa belakangan ini toh dunia sudah sangat berubah—sangat-sangat berubah. Dan yang tidak paham dengan arus deras itu akan sering salah kaprah. Kesalah-kaprahan itu mengandung komedi—bukan tragedi sama sekali, dan kita hanya perlu geleng-geleng kepala sambil tersenyum dan bergumam akan kejadian macam itu: Betapa konyol.

Betapa panjang sejarah penyitaan buku dalam sejarah politik bangsa ini. Setidak-tidaknya sejak zaman kolonial Belanda, Orde Lama, hingga Orde Baru, penyitaan atau pelarangan buku memang telah menyebabkan terputusnya informasi ke tengah masyarakat. Buku dianggap corong bagi tersebar luasnya gagasan, dan dengan memutus peredarannya, sudah berarti memutus pula penyebaran gagasan-gagasan yang dimuatnya. Itu sebabnya, pemberangusan atas buku begitu dikutuk sebagai kejahatan intelektual dan ilmu pengetuan. Tapi kini, begitu berbahayakah buku? Kini riwayat buku—sebagai yang tercetak—bahkan telah sampai pada fase senjakala. Juga riwayat toko buku—sebagai tempat ia diperjual-belikan. Keduanya sedang menuju ambruk di tengah gejala baru bernama: Internet.

Kemajuan teknologi telah memungkinkan kita membeli buku hanya dengan mengusap-usapkan jari pada layar sambil berjongkok di kakus. Kemajuan teknologi juga yang memungkinkan kita membaca buku juga hanya dengan mengusap-usapkan jari pada layar yang sama. Internet menjadi perpustakaan raksasa dunia yang me-nir-kan batas-batas.

Manifesto Komunis—kitab suci kaum komunis—tersedia di internet dengan gratis. (Pemblokiran bisa saja dilakukan—pemerintah telah mencobanya atas konten-konten pornografi, misalnya. Tapi, lihatlah, bagaimana satu situs diblokir, dengan konten yang sama, situs-situs yang lain mekar). Ada ratusan ‘kitab suci’ lain dari Marx & Engels, Lenin, Stalin, Mao, hingga Muso dan Aidit dapat didapatkan secara bebas di internet. Bagaimana menyita semua itu—yang jelas-jelas berisi gagasan-gagasan tentang komunisme?

Bukittinggi, 2019

(Haluan, 20 Januari 2019)

4 thoughts on “Penyitaan Buku dan Hantu Komunisme”

    1. sering dalam sejarah begitu. buku salah satu corong penyebaran informasi/gagasan. untuk menghambat laju informasi/gagasan, buku di sita. padahal buku (yang tercetak) sudah tidak lagi sepenting dulu.

Leave a comment