Petualang-petualang Minangkabau di Celebes

perang makassar

Oleh Deddy Arsya

Datuk Marajalela dalam Perang Makassar mungkin seorang Minangkabau. Dia terlibat dalam perang itu sudah sejak awal. Sebagaimana tercatat dalam Syair Perang Mengkasar, dia adalah pedagang Melayu yang membantu Sultan Hasanuddin. Dia memimpin serombongan pasukan dari Minangkabau yang kemudian babak-belur dihantam armada perang Belanda.

Syair Perang Mengkasar dikarang juru tulis Sultan Hasanuddin bernama Enci’ Amin. Juru tulis Sultan itu mengarang syair tersebut tidak lama setelah perang usai dan Sultan harus menekan Perjanjian Bongaya yang memalukan. Dalam syairnya, Amin menulis bahwa beberapa peristiwa yang dicatatkannya dalam syair itu tidak disaksikannya langsung, tetapi didapatnya secara berantai—dalam suatu rangkaian periwayat. Dan seorang Minangkabau menjadi salah satu sumber utama penyusunan syairnya itu. Amin tidak menjelaskan lebih jauh siapa gerangan seorang Minangkabau itu, tetapi berkemungkinan Datuk Marajalela itulah orang yang dimaksud Amin.

Enci’ Amin menulis:

Khabar itu sangat dirantaikan

Seorang Minangkabau hamba tuturkan

Enci’ Amin, pada bagian lain, mencatatkan bahwa sudah sejak sebelum Perang Makassar meletus, di Makassar telah banyak orang Minangkabau—dan peranakannya/keturunannya—yang datang sebagai pedagang. Mereka kadang-kadang, selain bergadang, juga mengisi pos-pos penting dalam Kesultanan Gowa/Tallo yang terkenal. Kerajaan ini sendiri mendominasi secara politik dan ekonomi hampir sekujur Celebes dan beberapa pulau kecil di sekitarnya bahkan hingga ke Timor. Kota utamanya, Makassar, adalah bandar penting yang menghubungkan pusat rempah Maluku dengan Nusantara sebelah barat.

Dan orang-orang Minangkabau, jika kita ikuti alur syair tersebut, mungkin saja telah datang ke Timur secara bergelombang untuk terlibat dalam perdagangan pantai yang memang marak pada kurun itu—suatu kurun yang disebut Anthony Reid sebagai ‘kurun niaga’. Sebab, toh, di abad sebelumnya, di Malaka, telah tercatat cukup banyak pedagang dari Minangkabau yang datang ke sana sebagai pialang-pialang pantai. Dan ketika kota-bandar itu direbut Portugis pada 1511, para pedagang—Muslim khususnya—telah menyebar ke mana-mana, ke kota-kota-bandar baru yang terbentuk kemudian, semisal Banten, Aceh, dan tentu juga Makassar—yang kemudian dominan di kawasan Indonesia bagian timur.

Dominasi Makassar di Timur itu menyusahkan hati VOC, sebuah kompeni dagang milik Belanda yang beroperasi di Hindia Timur (maksudnya, kepulauan Nusantaraa), yang telah lebih dulu memonopoli kepulauan rempah. Kompeni ingin Makassar menutup pintunya bagi pedagang-pedagang asing, tetapi Makassar ingin tetapi menjalankan perdagangan bebas yang merugikan pihak kompeni. Pertarungan kepentingan ekonomi itulah yang kemudian di antaranya menyulut perang yang cukup terkenal dalam sejarah: Perang Makassar.

Perang ini pertama kali disulut pada 1633. Dan ketika perang terjadi, orang Minangkabau tampaknya memang telah ikut terlibat, membantu pihak Hasanuddin. Dicatatkan Amin dalam syairnya, pasukan Minangkabau terlihat berani dan sungguh-sungguh dalam berperang. Mereka tidak sedang berpura-pura membela Sultan, “bukan buatan,” tulis Amin.

Bait selengkapnya kita kutipkan:

Sangat berani baginda Sultan

Hendak melawan Welanda syaitan

Minangkabau dengan peranakan

Sikapnya itu bukan buatan

***

Jejak orang Minangkabau di selatan Celebes itu sendiri, punya riwayat yang lebih panjang dari itu. Bahkan sebelum Perang Makassar meletus, adalah Datuk Ribandang dan dua orang karibnya bernama Datuk Patimang dan Datuk Tiro telah datang dan mengislamkan Tallo dan Gowa pada 1605. Mereka konon datang dari Koto Tangah—entah Kota Tangah yang mana, tidak mampu dijelaskan buku sejarah. Ketiganya, kata buku sejarah, berturut-turut adalah ahli fikih, ahli tauhid, dan ahli taswauf. Kombinasi tersebut bisa jadi dibuat sebagai representasi yang kokoh atas keislaman yang sampai ke sana, karena ketiga pilar tersebutlah yang mewarnai dan membentuk keberislaman masyarakat Nusantara pada umumnya.

Sejak kedatangan ketiga datuk dari Minangkabau itu, Islam berkembang di Gowa dan Tallo; Islam kemudian dianut para bangsawan dan diikuti rakyatnya secara luas; yang memungkinkan kerajaan pra-Islam itu beralih menjadi kesultanan bercorak Islam. Bahkan tidak hanya di Gowa dan Tallo, di daerah tetangganya, di Luwu, pengislaman juga dilakukan oleh seorang khatib asal Minangkabau bernama Datuk Sulaiman—nama ini sendiri berkemungkinan adalah nama nama lain dari Datuk Patimang, yang bernama lengkap Sulaiman Khatib Sulung.

Dalam ingatan kolektif orang Makassar, nama-nama penyampai Islam awal itu masih tetap melekat bahkan sampai hari ini; ada beberapa jalan mengabadikan nama datuk-datuk itu di Makassar.

Hubungan baik kedua budaya itu berlanjut di masa-masa kemudian. Hamka mengabadikannya dalam Tenggelamnya Kapal van Der Wijck yang terbit pada 1938. Roman ini mengisahkan kisah cinta seorang gadis Minangkabau dengan seorang pemuda Bugis, tapi yang menarik untuk dibicarakan di sini bukanlah kisah cinta yang berakhir tragis itu. Bagian yang ingin dihadirkan di sini adalah genealogi si tokoh utama, Zainudin, yang lahir Makassar, memiliki ibu Bugis dan bapak Minang.

Bapak Zainuddin bernama Abdullah, tidak bergelar—barangkali karena kawin dengan orang di luar Minang. Sebagai apa Abdullah hadir di Makassar—sebagai pedagang atau pegawai Belanda—dan bagaimana sepak terjangnya sebagai perantau di sana? Hamka tidak merincinya. Yang jelas, kehadiran Abdullah menegaskan bahwa interaksi budaya yang harmonis antara Minangkabau dan Makassar, pun dengan Bugus, telah dimulai kira-kira sejak abad ke-16 itu, masih terus berlanjut di abad-abad kita sekarang.

***

Datuk Marajalela, Datuk Ribandang, Datuk Patimang/ Datuk Sulaiman, dan Datuk Tiro—dan mungkin juga Abdullah dalam roman Hamka—adalah perantau-perantau Minangkabau yang mampu memberi warna bagi sejarah daerah tempat mereka merantau. Berkat jasa-jasa mereka di daerah rantau, mereka dikenang berlintas abad dan generasi bahkan hingga kini. Tetapi sebagai orang Minangkabau, di manakah tempatnya di kampung halaman? Tak ada yang tahu jejak perkauman Tiga Serangkai Datuk Ribandang cs. di Koto Tangah mana pun. Datuk Marajalela toh juga gelar umum di seantero Minangkabau—dan tak seorang pun yang mengenali riwayat Marajalela yang pernah memimpin sekelompok pandeka di Celebas untuk membantu Sultan Hasanuddin dalam melawan Kompeni.

Bisa jadi memang begitulah tabiat orang Minangkabau memperlakukan perantaunya. Seseorang bisa saja memiliki nama yang harum di luar, tetapi di kampung halaman dia tetaplah seorang anak dagang yang sesekali diceritakan sebagai kenangan.

Bukittinggi, Januari 2019

(Padang Ekspres, 13 Januari 2019)

2 thoughts on “Petualang-petualang Minangkabau di Celebes”

Leave a comment